Masa Depan Kita dan LGBT
Riuh tentang hubungan sesama jenis atau lebih beken disebut LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) kembali mengemuka setelah Ketua MPR Zulkifli Hasan menyebut ada lima partai yang mendukung LGBT. Sebelumnya juga riuh, pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak judicial review terhadap delik perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Keputusan MK oleh pemohon dianggap sebagai pelegalan perzinaan sampai pada LGBT. Pandangan ini kemudian dibantah dengan penjelasan mengenai tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Dalam UUD 1945 Pasal 24 C ayat 1 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10, salah satu kewenangan MK adalah menguji kesesuaian UU terhadap UUD 1945. Kalau ada UU yang tak sejalan dengan konstitusi maka MK berwenang membatalkannya. Pada konteks ini jelas kewenangan MK adalah menolak atau membatalkan, bukan memperluas ataupun membuat UU baru. MK pun sudah mengeluarkan siaran pers berkaitan dengan penjelasan putusannya tersebut untuk menghindari simpang siurnya pemberitaan di media.
Namun, meski ada penjelasan soal hal tersebut tak kemudian menyurutkan keriuhan publik. Terutama berkaitan dengan LGBT. Sudah sejak lama penyuka sesama jenis menjadi bahan olok-olokan masyarakat. Tak ubahnya sampah, mereka seperti tak menemukan ruang berkesistensi di Indonesia. Kondisi ini sesungguhnya dipengaruhi oleh kultur masyarakat kita yang religius.
Akar-akar tradisi agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen, Katolik, dan Konghucu misalnya, tak memberikan pembenaran terhadap penyuka sesama jenis. Karena itu, merupakan sesuatu yang niscaya kalau kemudian masyarakat kita tak memberikan tempat dan pembenaran bagi pelaku LGBT. Hal ini berakar dari kultur religius yang sudah membumi sejak dahulu kala.
Isu penyuka sesama jenis menjadi semakin seksi sesungguhnya dipengaruhi oleh realitas masyarakat modern di Barat, yang beberapa memiliki kesukaan tinggi terhadap sesama jenis. Akhirnya isu itu menggelinding ke Indonesia. Arus informasi yang begitu cepat dan hebat, secara langsung pasti mempengaruhi persepsi publik kita tentang LGBT. Tak heran para penyuka sesama jenis dan mereka yang mendukungnya kemudian berdalih atas nama hak asasi manusia untuk mendapatkan pembenaran atas tindakan dan dukungannya.
Humanisme Universal
Membicarakan hak asasi manusia ataupun humanisme dalam kerangka filosofis tak lepas dari kajian eksistensialisme. Para filsuf eksistensialis adalah mereka yang paling gagah berada pada garda depan ketika membicarakan hak dan kebebasan universal manusia. Sebut saja misalnya Jean-Paul Sartre, ada diktum Satre yang sangat terkenal, human is condemned to be free (manusia dikutuk untuk bebas). Kebebasan menjadi semacam kutukan yang melekat pada diri manusia. Karena ada pengandaian ruang eksistensial yang tak terbatas dalam dunia. Keterlemparan manusia pada dunia, yang oleh Martin Heidegger disebut sebagai faktisitas, diharapkan dapat seutuhnya menghadirkan manusia merdeka dengan ruang eksistensialnya.
Hanya ada yang tak boleh dilupa, seberapapun kebebasan didengungkan oleh para eksistensialis atas nama hak kemanusiaan, mereka tetap secara utuh menyadari bahwa ketika kebebasan merupakan satu-satunya universalitas manusia, maka kebebasan dari individu yang lain adalah batasan terhadap kebebasannya. Itu artinya, para eksistensialis ingin hadir seutuhnya ke dalam dunia, tak hanya atas nama dirinya namun juga orang lain. Karakter monodualis manusia sebagai makhluk individual dan sosial, tak akan terelakkan dalam kehidupan kita.
Pada kondisi ini, kita dapat melihat kenyataan tentang LGBT d Indonesia dalam sudut pandang eksistensialis sebagai basis humanisme universal. Kita selalu mengandaikan kebebasan dapat hadir dalam diri, hanya kadang kealpaan kita terlampau besar terhadap hak-hak kebebasan orang lain. Saya sebagai pribadi sesungguhnya tak ada masalah dengan pelaku LGBT, itu hak personal setiap orang. Hanya ketika LGBT hadir dalam ruang komunal kita, persoalan yang bakal muncul kemudian adalah rusaknya sistem kehidupan sosial kita berkaitan dengan reproduksi dan regenerasi kemanusiaan di masa depan.
Hubungan antar lawan jenis dalam agama-agama sangat diatur secara ketat, karena berkaitan dengan reproduksi dan regenerasi kemanusiaan. Maka aturan pernikahan merupakan jalan sakral yang memiliki dimensi transendental, sebagai pembenar terhadap perilaku seksual dalam kehidupan manusia. Karena itu, ketika hadir LGBT, sesungguhnya kita dihadapkan pada paradoks masa depan kemanusiaan kita. Tak terbayang, bagaimana ketika perilaku menyimpang LGBT direproduksi sedemikian rupa dalam pentas sosial kita. Kemudian hal itu menjadi perilaku sosial yang berpengaruh secara masif terhadap kecenderungan perilaku seksual masyarakat. Bukan tak mungkin masa depan regenerasi kemanusiaan kita semakin kelabu hingga titik nadir.
Penolakan mayoritas masyarakat terhadap pelaku LGBT harus dapat ditempatkan dalam kerangka pemanusiaan manusia. Bukan sebaliknya dinilai sebagai perangkap dan pengekangan hak kemanusiaan. Kalau kita hendak berpikir jernih, perilaku menyukai dan melakukan hubungan seks pada sesama jenis, sesungguhnya mengingkari kodrat transendental kemanusiaan kita, sebagai makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan alat kelamin merupakan kenyataan seksual guna menghadirkan reproduksi dan regenerasi keturunan manusia. Kalau perilaku menyukai sesama jenis dibiarkan, ancamannya adalah masa depan kemanusiaan kita bersama di bumi (Harian Analisa, 30 Januari 2018).